Disusun oleh: Vita Nur
Hidayati (09410017)
Identitas Buku:
Judul Buku : Paradigma
Islam
Pengarang : Dr.
Kuntowijoyo
Penerbit : Tiara
Wacana
Kota Terbit : Yogyakarta
Tahun : 1994
Isi garis Besar Buku:
Pada
bagian pertama meliputi:
Di Asia Tenggara, mayoritas kaum
Muslim terus kehilangan banyak peluang-sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan
yang ditawarkan oleh perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat-masyarakat
mereka. “Ketertinggalan” ini rupanya harus ditelusuri ke sejarah resistensi
kaum Muslim terhadap penetrasi kolonial di masa lalu. Corak “resistensi”,
“akomodasi” dan “modifikasi” terhadapan gagasan-gagasan dan lembaga-lembaga
Barat yang terus berkembang.
Ada beberapa persamaan yang terdapat dalam kehidupan agama di Asia Tenggara. Salah
satu persamaan dalam keyakinan Islam di Asia Tenggara adalah dominannya mazhab
Syafi’I di bidang fiqh (hukum keagamaan). Persamaan lain dari Islam di
Asia Tenggara adalah perselisihan internal antara apa yang disebut “tradisi
kecil” dan “tradisi besar”, walaupun dengan derajat intensitas yang
berbeda-beda. Di Indonesia, ketegangan antara abangan dan santri, hal
tersebut pernah terjadi akibat perbedaan-perbedaan kultural.
Salah satu negara di Asia Tenggara,
yaitu di Indonesia, terdapat suatu istilah wong cilik. Istilah Jawa wong
cilik mengandung pengertian golongan (kelas) dan kedudukan (status) orang
biasa.[1]
Petani dan pedagang digolongkan sebagai wong cilik (secara harfiah
berarti orang kecil), untuk menunjukkan kedudukan di bawah wong agung (orang
gedean), terdiri dari golongan bangsawan dan pangreh praja pada umumnya.
Masyarakat Arab yang sudah ada di
Indonesia, dan sejak semula merupakan masyarakat golongan menengah, sedikit
banyaknya membawakan suatu ikatan tertentu antara kaum santri golongan menengah
ini dengan masyarakat Arab tersebut. Secara individu, banyak orang Arab yang
memasuki gerakan keagamaan golongan menengah kaum santri seperti Sarekat Islam.
Pada
bagian kedua meliputi:
Berbeda dengan kebudayaan-kebudayaan
lain, Islam datang dan masuk ke Indonesia dengan cara yang elastis dan
fleksibel. Masjid-masjid yang didirikan pertama di Indonesia bentuknya
menyerupai arsitektur lokal, warisan Hindu. Hal ini berbeda dengan Kristen yang
membangun Gereja dengan arsitektur asing (barat). Kasus tersebut memperlihatkan
bahwa Islam lebih toleran terhadap budaya lokal. Budha dan Hindu masuk dengan
membawa stupa, sedangkan Islam tidak memindahkan dan membawa simbol budaya dari
Timur Tengah. Hanya akhir-akhir ini saja bentuk kubah disesuaikan. Jelas sudah
bahwa Islam datang dengan tidak antibudaya.
Secara akademik, kita mengenal dua
macam pendekatan untuk melihat fenomena kebudayaan. Pendekatan pertama, melihat
kebudayaan dari luar ke dalam. Artinya, melihat dari pengaruh ekologi
lingkungan fisik terhadap cara masyarakat mengorganisasikan dirinya. Misalnya,
bagaimana lingkungan daerah pantai mempengaruhi hubungan-hubungan sosial
masyarakatnya. Sementara itu, pendekatan kedua melihat kebudayaan dari dalam ke
luar. Artinya bagaimana sistem nilai mempengaruhi pembentukan sistem simbol dan
bagaimanan sistem simbol itu pada akhirnya mempengaruhi sistem-sistem
sosio-kultural.
Indonesia pernah mengalami apa yang
disebut dengan dualism kebudayaan, yaitu antara budaya keraton dan
budaya populer. Dua jenis kebudayaan tersebut sering dikategorikan sebagai
kebudayaan tradisional. Untuk konteks budaya kraton, kebudayaan dikembangkan
oleh abdi-dalem atau pegawai istana. Raja bertugas menciptakan simbol-simbol
budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya.
Pada
bagian ketiga meliputi:
Konsep normatif agama mengenai
budaya tidak saja mencoba memahami, melukiskannya, dan mengakui keunikan-keunikannya,
tetapi agama mempunyai konsep tentang ‘amr (perintah), dan tanggung
jawab. Sementara itu ilmu menjadikan budaya sebagai sasaran pemahaman, agama
memandang budaya sebagai sasaran pembinaan. Dalam ilmu dan agama, kiranya
konsep mengenai arah-tujuan kehidupan manusia menempati posisi sentral dalam
mempertimbangkan budaya.
Semua peradaban dan semua agama
mengalami proses meminjam dan memberi dalam interaksi mereka satu sama lain
sepanjang sejarah. Oleh karena itu, hampir tidak mungkin kita bersikap
eksklusif. Sikap seperti itu adalah sikap yang a-historis, dan tidak realistis.
Dalam bidang ilmu dan teknologi,
kita tidak boleh bersikap tertutup. Sekalipun kita yakin bahwa Islam bukan
Timur dan bukan Barat. Bagaimanapun Islam adalah sebuah paradigma yang terbuka.
Islam merupakan mata-rantai peradaban dunia. Dalam sejarah, kita melihat Islam
mewarisi peradaban Yunani-Romawi di Barat, dan peradaban-peradaban Persia,
India, dan Cina di Timur.
Ada banyak contoh yang dapat
dijadikan sebagai bukti tentang peranan Islam sebagai mata-rantai peradaban
dunia. Islam misalnya mengembangkan matematika India, ilmu kedokteran dari
Cina, sistem pemerintahan Sasanid (Persia), logika Yunan dsb.
Kelebihan:
Buku ini begitu lengkap dalam
menjelaskan paradigma Islam. Disamping penjabarannya yang begitu baik,
dilengkapi juga contoh-contohnya. Buku ini memeberikan cocok sebagai bahan
referensi bagi mahasiswa dan dosen serta baik juga untuk umum. Buku ini ada 3
bab, masing-masing bab terdiri dari beberapa sub bab. Dimana setiap sub bab
terkait dengan sub bab yang lain.
Kekurangan:
Buku ini kurang efektif dan efisien,
karena terlalu banyak sub babnya, sehingga kelihatan banyak tulisan dan
membosankan. Bahasanya kuarang begitu bisa dipahami.
[1] Untuk
keterangan tentang perbedaan antara kedudukan dan kelas, harap merujuk kepada
Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization. (The Free
Press, New York, 1964).
Ulfa Zuhrotunnisa
BalasHapus09410033
Pada dasarnya suatu interaksi dapat memunculkan suatu kebudayaan di suatu tempat tersebut. Kebudayaan yang ada di suatu daerah dapat dijadikan sebagai suatu simbol ataupun sebagai suatu cirri khas dari daerah tersebut. Hal ini dapat di lihat dari bangsa Indonesia yang sangat menjunjung tinggi terhadap nilai gotong royong. Nilai gotong royang telah melekat pada setiap individu masyarakat Indonesia.