Selasa, 20 Maret 2012

Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional

NAMA : SITI MUJAYANAH
NIM     : 09410013


Resensi Buku:
Judul                  : Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani Indonesia;  Strategi Reformasi Pendidikan Nasional
Karangan           : Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M. Sc. Ed
Penerbit              : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan              : ke-3
Tahun Terbit      : Bandung, 2002
Tebal Buku        : xi + 215 halaman

PENDIDIKAN SEBAGAI PEMBUDAYAAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA

Primadona diskursus reformasi hingga saat ini masih terfokus pada bidang hukum, ekonomi dan politik. Sementara pendidikan sebagai salah satu bidang kehidupan yang fundamental dan kontributif terhadap ketiga bidang tersebut, tidak diperhatikan secara mendalam. Artinya, kalaupun ada yang menyorot pendidikan, itupun sebatas fragmentasi atau serpihan yang hasilnya tidak monumental untuk dijadikan diskursus yang komprehensif. Beberapa hal yang diperkirakan menghambat pendidikan untuk dijadikan fokus, antara lain: (a) kekaburan bidang pendidikan, baik sebagai ilmu maupun seni (kiat), yang dapat mengundang setiap orang berbicara tentang pendidikan; (b) makna pendidikan yang direduksi menjadi persekolahan, sehingga menumbuhkan klaim bahwa orang yang berbicara persekolahan berarti berbicara pendidikan secara keseluruhan; dan (c) selama Orde Baru telah lahir dan diberlakukan kebijakan tentang pendidikan yang sentralistik, yang menjadikan dunia pendidikan “uniform” dan praksis pendidikan kita kehilangan inisiatif serta kreativitas yang bhinneka.
Secara umum disadari bahwa pendidikan merupakan lahan pembahasan yang sangat menarik, dikarenakan ia adalah hajat hidup bangsa di negara manapun berada. Di negara kita, baru setelah reformasi bergulir para ahli di bidang pendidikan tampaknya beroleh keleluasaan untuk menyorot pendidikan secara terbuka, baik yang berkenaan dengan landasan teoretis maupun segi praksis. Pada forum-forum seminar ramai dibicarakan tentang perlunya paradigma baru pendidikan untuk menghadapi tantangan masyarakat global yang problematik dan kompleks. Demikian halnya pada media massa, para ahli menulis pendidikan dalam kaitannya dengan arah reformasi dan tuntutan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk. Beberapa penerbit tidak ketinggalan untuk menyambut angin segar itu dengan menerbitkan buku tentang pendidikan, baik yang bersifat kompilatif maupun pemikiran utuh dari ahlinya. Salah satu buku yang dipandang komprehensif tentang pendidikan, adalah karya Tilaar yang diterbitkan pada bulan Agustus 1999 yang berjudul dan berdisain sampul bernafaskan reformasi dan kebhinnekaan bangsa Indonesia.
Tilaar mengemas pemikiran tentang pendidikan secara fundamental dan strategis yang dilatari semangat demokrasi, dirancang dalam konteks kebudayaan bhinneka, dan diarahkan kepada terciptanya platform reformasi pendidikan nasional guna mempertegas strategi pencapaian masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan. Kemasan pemikirannya tertuang ke dalam sembilan bab yang disertai catatan kaki, referensi, empat lampiran tulisan, indeks dan diakhiri riwayat hidup penulis. Dengan penyajian seperti itu, tampaknya tidak hanya menjanjikan penawar dahaga bagi mereka yang kehausan akan pemikiran tentang pendidikan, melainkan esensinya diharapkan menembus para ahli, pembuat kebijakan, cendekiawan, pengamat serta praktisi pendidikan itu sendiri.
Setelah prawacana, Tilaar mengemukakan pendahuluan yang mengulas era reformasi, mengapa diperlukan reformasi pendidikan nasional dan keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan. Ia menyatakan, bahwa proses pendidikan sebagai pemanusiaan manusia berbudaya Indonesia yang interaktif berkesinambungan dan konsentris. Artinya ialah pendidikan yang berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan masyarakat Indonesia ke dalam suatu masyarakat madani Indonesia memasuki pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang terbuka. Pada bab-bab selanjutnya dibahas tentang hakikat pendidikan, kebudayaan, berbagai kaitan antara pendidikan dan kebudayaan serta berbagai teori dan persepsi mengenai hubungan antara proses pendidikan dan kebudayaan.
Menurut Tilaar, proses pemanusiaan berimplikasi bahwa pendidikan terjadi dalam interaksi antar manusia dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Interaksi tersebut terjadi didalam lingkungan alam (ekologi) yang perlu dilestarikan serta lingkungan sosial (sosial-politik-ekonomi) yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Proses pembudayaan atau proses pemanusiaan tersebut harus memperhatikan tuntutan-tuntutan intergenerasi yaitu faktor-faktor pelestarian ekologis, budaya, dan kependudukan. Selanjutnya proses pemanusiaan itu merupakan pula suatu proses interkultural yang meliputi budaya lokal, nasional, dan internasional (global) menuju kepada terciptanya masyarakat madani global yang bertumpu dari masyarakat madani Indonesia yang mempunyai cirinya yang khas yaitu kebudayaan Indonesia (hlm. 11). Dikarenakan tidak ada pendidikan untuk masyarakat madani Indonesia, serta pendidikan merupakan bagian yang integral dan kegiatan resiprokal dari masyarakat dan kebudayaannya, maka yang lebih tepat menurut Tilaar, ialah pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia.
Pendidikan dalam masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Dalam suatu masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan batu landasan dari masyarakat. Masyarakat demokratis hanya ada apabila hak-hak dan kewajiban warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati. Proses pendidikan di dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas masyarakat atau bangsa Indonesia yang berbudaya. Pengembangan pribadi di dalam masyarakat yang berbudaya, baik lokal, nasional maupun budaya global, tidak dapat dielakkan lagi dalam kehidupan global abad-21.
Di dalam interaksi antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, Tilaar memandang, bahwa proses pengembangan pribadi tersebut, manusia dilihat bukan hanya menyerap unsur-unsur kebudayaannya secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk yang dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara keseluruhan merupakan sumber perkembangan kebudayaan. Di dalam proses dinamis tersebut terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi. Di dalam proses hominisasi manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya sebagai makhluk hidup. Di dalam proses humanisasi pribadi tersebut mengembangkan potens kemanusiaannya. Bersama-sama dengan proses hominisasi, di dalam proses humanisasi terjadilah interaksi yang saling menguntungkan antara pribadi dengan lingkungannya yang berbudaya. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan isi
dari proses hominisasi dan humanisasi (hlm. 167-168).
Menurut Tilaar, proses pendidikan yang berakar dari kebudayaan berbeda dengan praksis pendidikan yang terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigm shift) dari pendidikan nasional untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan nasional diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesi tersebut.
Beberapa strategi pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat madani Indonesia ditawarkan Tilaar, antara lain: (a) Pendidikan dari, oleh, dan bersama-sama masyarakat; (b) Pendidikan didasarkan pada kebudayaan nasional yang bertumpu pada kebudayaan lokal, (c) Proses pendidikan mencakup proses hominisasi dan proses humanisasi, (d) Pendidikan demokrasi, (e) Kelembagaan pendidikan yang mewujudkan nilai-nilai demokrasi, dan (f) Desentralisasi manajemen pendidikan nasional.
Guna mewujudkan masyarakat madani Indonesia yang menuntut paradigma masyarakat Indonesia dewasa ini, tentunya dituntut pula reposisi dan reinvensi pendidikan nasional. Dalam hal ini, Tilaar mengajukan strategi reformasi pendidikan nasional, antara lain: (a) Pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, haruslah dijadikan pusat pengembangan kebudayaan daerah dan nasional; (b) Visi pendidikan nasional berakar dari kebudayaan nasional perlu dijabarkan secara rinci dalam semua program pendidikan; (c) Prinsip-prinsip kehidupan nasional yang berdasarkan Pancasila perlu dilaksanakan di dalam kehidupan nyata dalam seluruh lembaga pendidikan. Nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa yang bhinneka perlu diberikan prioritas seperti toleransi, disiplin, keterbukaan dan menghilangkan sikap hidup eksklusif, serta rasa bangga menjadi bangsa Indonesia; (d) Menghidupkan dan mengembangkan tata cara hidup demokrasi ; (e) Desentralisasi dan sentralisasi pengelolaan pendidikan yang seimbang; dan (f) Efektivitas kelembagaan departemen pendidikan dan kebudayaan.
Dalam hal yang terakhir, Tilaar mengusulkan bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak hanya menangani masalah pendidikan saja. Artinya departemen ini dipisahkan antara urusan pendidikan dan urusan kebudayaan. Reorganisasi Departemen Pendidikan akan lebih menuntut pendidikan nasional itu haruslah didasarkan kepada kebudayaan nasional. Di bawah Departemen Pendidikan perlu ada unit (direktorat) yang mengurusi mengenai pendidikan kebudayaan dalam arti luas maupun dalam arti yang sempit. Pengurusan kebudayaan dalam arti yang luas dalam pendidikan ialah merumuskan konsep-konsep kebudayaan yang merupakan dasar dari pendidikan nasional. Tugas unit ini juga termasuk penyelenggaraan pendidikan-pendidikan kebudayaan seperti seni musik, seni tari, seni rupa dan sebagainya. Departemen Kebudayaan yang berdiri sendiri selain mempunyai tugas pokok mengembangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, juga akan membantu departemen-departemen lainnya di dalam menggali, mengembangkan dan mamanfaatkan budaya lokal maupun nasional. Demikian pula Departemen Kebudayaan akan merumuskan nilai-nilai budaya universal yang akan dikembangkan serta nilai-nilai lokal yang akan menjadi sumbangan bagi pengembangan kebudayaan nasional (hlm. 179).
Hasil yang diharapkan dari pendidikan nasional untuk membangun masyarakat madani Indonesia ialah: (a) Sikap demokratis, (b) Sikap toleran, (c) Saling pengertian, (d) Berakhlak tinggi, beriman dan bertaqwa, dan (e) Manusia dan masyarakat yang berwawasan global. Tampaknya, tema sentral yang disajikan buku ini terasa aktual, fundamental dan komprehensif terutama bagi kalangan pendidikan Indonesia yang terbebas dari pemikiran stagnan. Penampakan tersebut sangat ditunjang oleh ketajaman penulisnya dalam meramu dan mengintegrasikan analisis secara holistik serta gaya pemaparan yang lentur, sehingga mendorong kepenasaranan untuk menghabiskan bacaan, kendati dalam beberapa hal berisi modifikasi pemikiran lama. Ketajaman yang dimaksud terungkap dari penggunaan referensi yang terentang dari tahun 1929-1999, pemikiran dari Barat dan Timur, ulasan filosofis dan praksis, serta tanpa kehilangan kontekstualitas khazanah pemikiran negeri sendiri.
Kekurangan dalam buku ini adalah sering dijumpain kata sambung yang  mengganggu kelancaran membaca, kesalahan titik ditemukan di halaman 70 dan 145, serta penggunaan tanda sambung (-) yang memotong kata pada beberapa halaman. Memang tidak mengubah makna keseluruhan bahasan, tetapi dapat dijadikan pekerjaan rumah bagi tim penyunting untuk diperbaharui pada cetakan berikutnya.

3 komentar:

  1. pendidikan sering dipisahkan dengan kebudayaan anak didik atau masyarakat sehingga menyempitkan manusia zaman sekarang dalam memandang pendidikan. sekolah sering disebut-sebut sebagai pendidikan yang terpenting, padahal di sekolah itulah peserta didik terpisah dengan kebudayaan, terpisah dengan alam sekitar karena tersekat-sekat oleh tembok dan peraturan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak, walau tidak semua sekolah seperti itu.

    sedikit sharing tentang penelitian kelompok saya di sekolah model MAYOGA Sleman yang berwawasan lingkungan "Adiwiyata". dalam interview sekilas dengan salah satu guru yang menjabat sebagai ketua program RSBI, beliau menyatakann latar belakang peserta didik pada dasarnya berbeda antara satu dengan lainnya. ada peserta didik yang dari lingkungan keluarganya atau masyarakatnya membawa perbuatan buruk dan itu terbawa sampai sekolah, ada juga peserta didik yang memang dari basic keluarga dan lingkungannya memiliki kebiasaan baik dan itu terbawa di lingkungan sekolah. di ditulah sesungguhnya tugas sekolah untuk merubah kebiasaan peserta didik yang memiliki kebiasaan buruk menjadi terbiasa dengan kebiasaan baik. dan sekolah mengapresiasi pserta didik yang sudah membawa kebiasaan baik dari keluarga ke lingkungan sekolah.

    jika dilihat sekilas statment di atas, pendidikan bukanlah pandai MTK, Lulus UAN 100%, atau kapasitas kognisi semata melainkan kegiatan pembiasaan dengan perubahan sedikit demi sedikit untuk berubah menjadi baik secara berkelanjutan dan continue.
    nah, disitulah peran kebudayaan sebagai proses pendidikan yang memang harus dilakukan secara bertahap tidak bisa secara spontan. disitu pula seharusnya peraturan di sekolah menyesuaikan dengan kebutuhan siswa.
    kesimpulannya sekolah hanya membantu proses perubahan anak didik kearah yang lebih baik dan otomatis pembiasaan/pembudayaan itu dengan pendidikan bukan dengan peraturan/otoritas sekolah.kebudayaan dan pendidikan jika diilustrasikan seperti mesin dengan oli. jika mesinnya tidak diberi oli lama-lama akan rusak bahkan kebakar, namun, jika mesin diberikan oli dengan porsi yang tepat maka mesinpun akan berjalan lancar dan mesin akan awet.
    itu komentar saya.klo ada yang kurang berkenan monggo di koment lagi ya
    thanks
    Ahmad Sadam Husaein (09410260)

    BalasHapus
  2. saya tertarik memberikan tanggapan komentar dari saudara sadam mengaenai hubungan kebudayaan dan pendidikan yang dianalogikan seperti mesin dan oli ya? mohon maaf sebelumnya,mungkin disini saya tidak memmbahas apa yang dianalogikan, tapi lebih kepada apa yang menjadi analogi yaitu mesin dan oli.
    saya masih sependapat jika mesin tidak diberi oli akan rusak dan kemungkinan kerusakannya adalah piston, laker, Knocken as, dan komponen lain dalam mesin tersebut.disisi lain saya tidak sependapat jika mesin tidak diberikan oli akan terbakar. kalau komponen mesin itu rontok iya...karena pada dasrnya oli itukan berfungsi sebagai pelumas mesin, bukan bahan bakar. kalau bahan bakar contohnya premium, pertamax, solar, dsb.
    jadi meneurut saya kebudayaan dan pendidikan dapat dianalogikan seperti mesin dan bahan bakar. mesin tidak akan berjalan tampa adanya bahan bakar. mesin pun akan rusak jika pengisian bahan bakar tidak sesuai dengan jenisnya, misal mesin berjenis bensin diisi dengan solar atau minyak tanah. jadi pengisian bahan bakar harus disesuaikan dengan tipe mesinnya agar mesin terjaga, awet, dan berjalan secara ideal.
    sekaian komentar saya, apabila banyak salah kata bahkan gagasan mohon dimaafkan.

    BalasHapus
  3. Ulfa Zuhrotunnisa
    09410033
    Berbicara tentang pendidikan dan kebudayaan pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan secara ringkas dan banyak diketahui khalayak umum merupakan hasil dari cipta, rasa , dan karsa manusia. Sedangkan berkaitan dengan pendidikan tidak dapat terlepas dari yuang namanya suatu interaksi, baik dalam hal pemikiran, budaya, maupun pranata sosial. Dalam pendidikan terjadi interaksi dua arah yang dapat menjadi suatu kebudayaan. Ternyata di Indonesia antara kebudayaan dan pendidikan tidak terpisahkan. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan local yang dijadikan sebagai suatu mata pelajaran di sekolah. Misal, Bahasa Jawa yang nerupakan kebudayaan Jawa dimasukkan ke dalam salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah. Kebudayaan yang ada di setiap pulau di Indonesia dapat dijadikan sebagai kekuatan bangsa dalam memajukan negara tercinta ini..

    BalasHapus