NIM : 09410013
Resensi Buku:
Judul : Pendidikan, Kebudayaan, Dan Masyarakat Madani
Indonesia; Strategi Reformasi Pendidikan Nasional
Karangan
: Prof. Dr. H.A.R Tilaar, M. Sc.
Ed
Penerbit : PT Remaja Rosdakarya
Cetakan : ke-3
Tahun
Terbit : Bandung, 2002
Tebal
Buku : xi + 215 halaman
PENDIDIKAN SEBAGAI
PEMBUDAYAAN MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Primadona diskursus
reformasi hingga saat ini masih terfokus pada bidang hukum, ekonomi dan
politik. Sementara pendidikan sebagai salah satu bidang kehidupan yang fundamental
dan kontributif terhadap ketiga bidang tersebut, tidak diperhatikan secara mendalam.
Artinya, kalaupun ada yang menyorot pendidikan, itupun sebatas fragmentasi atau
serpihan yang hasilnya tidak monumental untuk dijadikan diskursus yang
komprehensif. Beberapa hal yang diperkirakan menghambat pendidikan untuk
dijadikan fokus, antara lain: (a) kekaburan bidang pendidikan, baik sebagai
ilmu maupun seni (kiat), yang dapat mengundang setiap orang berbicara tentang
pendidikan; (b) makna pendidikan yang direduksi menjadi persekolahan, sehingga
menumbuhkan klaim bahwa orang yang berbicara persekolahan berarti berbicara
pendidikan secara keseluruhan; dan (c) selama Orde Baru telah lahir dan
diberlakukan kebijakan tentang pendidikan yang sentralistik, yang menjadikan dunia
pendidikan “uniform” dan praksis pendidikan kita kehilangan inisiatif serta
kreativitas yang bhinneka.
Secara umum disadari
bahwa pendidikan merupakan lahan pembahasan yang sangat menarik, dikarenakan ia
adalah hajat hidup bangsa di negara manapun berada. Di negara kita, baru
setelah reformasi bergulir para ahli di bidang pendidikan tampaknya beroleh
keleluasaan untuk menyorot pendidikan secara terbuka, baik yang berkenaan
dengan landasan teoretis maupun segi praksis. Pada forum-forum seminar ramai dibicarakan
tentang perlunya paradigma baru pendidikan untuk menghadapi tantangan
masyarakat global yang problematik dan kompleks. Demikian halnya pada media
massa, para ahli menulis pendidikan dalam kaitannya dengan arah reformasi dan
tuntutan masyarakat bangsa Indonesia yang majemuk. Beberapa penerbit tidak ketinggalan
untuk menyambut angin segar itu dengan menerbitkan buku tentang pendidikan,
baik yang bersifat kompilatif maupun pemikiran utuh dari ahlinya. Salah satu
buku yang dipandang komprehensif tentang pendidikan, adalah karya Tilaar yang diterbitkan
pada bulan Agustus 1999 yang berjudul dan berdisain sampul bernafaskan reformasi
dan kebhinnekaan bangsa Indonesia.
Tilaar mengemas
pemikiran tentang pendidikan secara fundamental dan strategis yang dilatari
semangat demokrasi, dirancang dalam konteks kebudayaan bhinneka, dan diarahkan
kepada terciptanya platform reformasi pendidikan nasional guna
mempertegas strategi pencapaian masyarakat madani Indonesia melalui pendidikan.
Kemasan pemikirannya tertuang ke dalam sembilan bab yang disertai catatan kaki,
referensi, empat lampiran tulisan, indeks dan diakhiri riwayat hidup penulis.
Dengan penyajian seperti itu, tampaknya tidak hanya menjanjikan penawar dahaga
bagi mereka yang kehausan akan pemikiran tentang pendidikan, melainkan esensinya
diharapkan menembus para ahli, pembuat kebijakan, cendekiawan, pengamat serta
praktisi pendidikan itu sendiri.
Setelah prawacana,
Tilaar mengemukakan pendahuluan yang mengulas era reformasi, mengapa diperlukan
reformasi pendidikan nasional dan keterkaitan antara pendidikan dengan
kebudayaan. Ia menyatakan, bahwa proses pendidikan sebagai pemanusiaan manusia
berbudaya Indonesia yang interaktif berkesinambungan dan konsentris. Artinya
ialah pendidikan yang berakar pada budaya bangsa dalam membawa manusia dan
masyarakat Indonesia ke dalam suatu masyarakat madani Indonesia memasuki
pergaulan bangsa-bangsa di dunia yang terbuka. Pada bab-bab selanjutnya dibahas
tentang hakikat pendidikan, kebudayaan, berbagai kaitan antara pendidikan dan
kebudayaan serta berbagai teori dan persepsi mengenai hubungan antara proses
pendidikan dan kebudayaan.
Menurut Tilaar, proses
pemanusiaan berimplikasi bahwa pendidikan terjadi dalam interaksi antar manusia
dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Interaksi tersebut terjadi didalam
lingkungan alam (ekologi) yang perlu dilestarikan serta lingkungan sosial (sosial-politik-ekonomi)
yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang beradab. Proses pembudayaan atau
proses pemanusiaan tersebut harus memperhatikan tuntutan-tuntutan intergenerasi
yaitu faktor-faktor pelestarian ekologis, budaya, dan kependudukan. Selanjutnya
proses pemanusiaan itu merupakan pula suatu proses interkultural yang meliputi
budaya lokal, nasional, dan internasional (global) menuju kepada terciptanya
masyarakat madani global yang bertumpu dari masyarakat madani Indonesia yang
mempunyai cirinya yang khas yaitu kebudayaan Indonesia (hlm. 11). Dikarenakan
tidak ada pendidikan untuk masyarakat
madani Indonesia, serta pendidikan merupakan bagian yang integral dan kegiatan
resiprokal dari masyarakat dan kebudayaannya, maka yang lebih tepat menurut
Tilaar, ialah pendidikan dalam masyarakat
madani Indonesia.
Pendidikan dalam
masyarakat madani Indonesia tidak lain ialah proses pendidikan yang mengakui
akan hak-hak serta kewajiban perorangan di dalam masyarakat. Dalam suatu
masyarakat yang demokratis, hak-hak dan kewajiban tersebut merupakan batu
landasan dari masyarakat. Masyarakat demokratis hanya ada apabila hak-hak dan
kewajiban warga negaranya diakui, dikembangkan dan dihormati. Proses pendidikan
di dalam masyarakat demokratis mengakui adanya identitas masyarakat atau bangsa
Indonesia yang berbudaya. Pengembangan pribadi di dalam masyarakat yang
berbudaya, baik lokal, nasional maupun budaya global, tidak dapat dielakkan
lagi dalam kehidupan global abad-21.
Di dalam interaksi
antara perkembangan kepribadian dengan kebudayaannya, Tilaar memandang, bahwa
proses pengembangan pribadi tersebut, manusia dilihat bukan hanya menyerap
unsur-unsur kebudayaannya secara pasif, tetapi manusia itu merupakan makhluk
yang dinamis. Dinamisme kepribadian di dalam cipta, karsa, dan rasa secara
keseluruhan merupakan sumber perkembangan kebudayaan. Di dalam proses dinamis
tersebut terjadilah proses hominisasi dan proses humanisasi. Di dalam proses
hominisasi manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya sebagai makhluk hidup.
Di dalam proses humanisasi pribadi tersebut mengembangkan potens kemanusiaannya.
Bersama-sama dengan proses hominisasi, di dalam proses humanisasi terjadilah
interaksi yang saling menguntungkan antara pribadi dengan lingkungannya yang
berbudaya. Dapat dikatakan bahwa kebudayaan merupakan isi
dari proses hominisasi
dan humanisasi (hlm. 167-168).
Menurut Tilaar, proses
pendidikan yang berakar dari kebudayaan berbeda dengan praksis pendidikan yang
terjadi dewasa ini yang cenderung mengalienasikan proses pendidikan dari
kebudayaan. Kita memerlukan suatu perubahan paradigma (paradigm shift)
dari pendidikan nasional untuk menghadapi proses globalisasi dan menata kembali
kehidupan masyarakat Indonesia. Cita-cita era reformasi tidak lain ialah
membangun suatu masyarakat madani Indonesia. Oleh sebab itu paradigma baru pendidikan
nasional diarahkan kepada terbentuknya masyarakat madani Indonesi tersebut.
Beberapa strategi
pembangunan pendidikan nasional dalam rangka membangun masyarakat madani
Indonesia ditawarkan Tilaar, antara lain: (a) Pendidikan dari, oleh, dan
bersama-sama masyarakat; (b) Pendidikan didasarkan pada kebudayaan nasional
yang bertumpu pada kebudayaan lokal, (c) Proses pendidikan mencakup proses
hominisasi dan proses humanisasi, (d) Pendidikan demokrasi, (e) Kelembagaan
pendidikan yang mewujudkan nilai-nilai demokrasi, dan (f) Desentralisasi
manajemen pendidikan nasional.
Guna mewujudkan masyarakat
madani Indonesia yang menuntut paradigma masyarakat Indonesia dewasa ini,
tentunya dituntut pula reposisi dan reinvensi pendidikan nasional. Dalam hal
ini, Tilaar mengajukan strategi reformasi pendidikan nasional, antara lain: (a)
Pranata sosial pendidikan keluarga, sekolah, haruslah dijadikan pusat
pengembangan kebudayaan daerah dan nasional; (b) Visi pendidikan nasional
berakar dari kebudayaan nasional perlu dijabarkan secara rinci dalam semua program
pendidikan; (c) Prinsip-prinsip kehidupan nasional yang berdasarkan Pancasila
perlu dilaksanakan di dalam kehidupan nyata dalam seluruh lembaga pendidikan.
Nilai-nilai dasar dalam kehidupan berbangsa yang bhinneka perlu diberikan
prioritas seperti toleransi, disiplin, keterbukaan dan menghilangkan sikap hidup
eksklusif, serta rasa bangga menjadi bangsa Indonesia; (d) Menghidupkan dan mengembangkan
tata cara hidup demokrasi ; (e) Desentralisasi dan sentralisasi pengelolaan
pendidikan yang seimbang; dan (f) Efektivitas kelembagaan departemen pendidikan
dan kebudayaan.
Dalam hal yang
terakhir, Tilaar mengusulkan bahwa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tidak
hanya menangani masalah pendidikan saja. Artinya departemen ini dipisahkan
antara urusan pendidikan dan urusan kebudayaan. Reorganisasi Departemen
Pendidikan akan lebih menuntut pendidikan nasional itu haruslah didasarkan
kepada kebudayaan nasional. Di bawah Departemen Pendidikan perlu ada unit
(direktorat) yang mengurusi mengenai pendidikan kebudayaan dalam arti luas
maupun dalam arti yang sempit. Pengurusan kebudayaan dalam arti yang luas dalam
pendidikan ialah merumuskan konsep-konsep kebudayaan yang merupakan dasar dari
pendidikan nasional. Tugas unit ini juga termasuk penyelenggaraan
pendidikan-pendidikan kebudayaan seperti seni musik, seni tari, seni rupa dan
sebagainya. Departemen Kebudayaan yang berdiri sendiri selain mempunyai tugas
pokok mengembangkan kebudayaan nasional dan kebudayaan daerah, juga akan
membantu departemen-departemen lainnya di dalam menggali, mengembangkan dan mamanfaatkan
budaya lokal maupun nasional. Demikian pula Departemen Kebudayaan akan
merumuskan nilai-nilai budaya universal yang akan dikembangkan serta
nilai-nilai lokal yang akan menjadi sumbangan bagi pengembangan kebudayaan nasional
(hlm. 179).
Hasil yang diharapkan
dari pendidikan nasional untuk membangun masyarakat madani Indonesia ialah: (a)
Sikap demokratis, (b) Sikap toleran, (c) Saling pengertian, (d) Berakhlak
tinggi, beriman dan bertaqwa, dan (e) Manusia dan masyarakat yang berwawasan
global. Tampaknya, tema sentral yang disajikan buku ini terasa aktual,
fundamental dan komprehensif terutama bagi kalangan pendidikan Indonesia yang
terbebas dari pemikiran stagnan. Penampakan tersebut sangat ditunjang oleh
ketajaman penulisnya dalam meramu dan mengintegrasikan analisis secara holistik
serta gaya pemaparan yang lentur, sehingga mendorong kepenasaranan untuk
menghabiskan bacaan, kendati dalam beberapa hal berisi modifikasi pemikiran
lama. Ketajaman yang dimaksud terungkap dari penggunaan referensi yang terentang
dari tahun 1929-1999, pemikiran dari Barat dan Timur, ulasan filosofis dan
praksis, serta tanpa kehilangan kontekstualitas khazanah pemikiran negeri
sendiri.
Kekurangan dalam buku
ini adalah sering dijumpain kata sambung yang mengganggu kelancaran membaca, kesalahan titik
ditemukan di halaman 70 dan 145, serta penggunaan tanda sambung (-) yang
memotong kata pada beberapa halaman. Memang tidak mengubah makna keseluruhan
bahasan, tetapi dapat dijadikan pekerjaan rumah bagi tim penyunting untuk
diperbaharui pada cetakan berikutnya.
pendidikan sering dipisahkan dengan kebudayaan anak didik atau masyarakat sehingga menyempitkan manusia zaman sekarang dalam memandang pendidikan. sekolah sering disebut-sebut sebagai pendidikan yang terpenting, padahal di sekolah itulah peserta didik terpisah dengan kebudayaan, terpisah dengan alam sekitar karena tersekat-sekat oleh tembok dan peraturan yang tidak disesuaikan dengan kebutuhan anak, walau tidak semua sekolah seperti itu.
BalasHapussedikit sharing tentang penelitian kelompok saya di sekolah model MAYOGA Sleman yang berwawasan lingkungan "Adiwiyata". dalam interview sekilas dengan salah satu guru yang menjabat sebagai ketua program RSBI, beliau menyatakann latar belakang peserta didik pada dasarnya berbeda antara satu dengan lainnya. ada peserta didik yang dari lingkungan keluarganya atau masyarakatnya membawa perbuatan buruk dan itu terbawa sampai sekolah, ada juga peserta didik yang memang dari basic keluarga dan lingkungannya memiliki kebiasaan baik dan itu terbawa di lingkungan sekolah. di ditulah sesungguhnya tugas sekolah untuk merubah kebiasaan peserta didik yang memiliki kebiasaan buruk menjadi terbiasa dengan kebiasaan baik. dan sekolah mengapresiasi pserta didik yang sudah membawa kebiasaan baik dari keluarga ke lingkungan sekolah.
jika dilihat sekilas statment di atas, pendidikan bukanlah pandai MTK, Lulus UAN 100%, atau kapasitas kognisi semata melainkan kegiatan pembiasaan dengan perubahan sedikit demi sedikit untuk berubah menjadi baik secara berkelanjutan dan continue.
nah, disitulah peran kebudayaan sebagai proses pendidikan yang memang harus dilakukan secara bertahap tidak bisa secara spontan. disitu pula seharusnya peraturan di sekolah menyesuaikan dengan kebutuhan siswa.
kesimpulannya sekolah hanya membantu proses perubahan anak didik kearah yang lebih baik dan otomatis pembiasaan/pembudayaan itu dengan pendidikan bukan dengan peraturan/otoritas sekolah.kebudayaan dan pendidikan jika diilustrasikan seperti mesin dengan oli. jika mesinnya tidak diberi oli lama-lama akan rusak bahkan kebakar, namun, jika mesin diberikan oli dengan porsi yang tepat maka mesinpun akan berjalan lancar dan mesin akan awet.
itu komentar saya.klo ada yang kurang berkenan monggo di koment lagi ya
thanks
Ahmad Sadam Husaein (09410260)
saya tertarik memberikan tanggapan komentar dari saudara sadam mengaenai hubungan kebudayaan dan pendidikan yang dianalogikan seperti mesin dan oli ya? mohon maaf sebelumnya,mungkin disini saya tidak memmbahas apa yang dianalogikan, tapi lebih kepada apa yang menjadi analogi yaitu mesin dan oli.
BalasHapussaya masih sependapat jika mesin tidak diberi oli akan rusak dan kemungkinan kerusakannya adalah piston, laker, Knocken as, dan komponen lain dalam mesin tersebut.disisi lain saya tidak sependapat jika mesin tidak diberikan oli akan terbakar. kalau komponen mesin itu rontok iya...karena pada dasrnya oli itukan berfungsi sebagai pelumas mesin, bukan bahan bakar. kalau bahan bakar contohnya premium, pertamax, solar, dsb.
jadi meneurut saya kebudayaan dan pendidikan dapat dianalogikan seperti mesin dan bahan bakar. mesin tidak akan berjalan tampa adanya bahan bakar. mesin pun akan rusak jika pengisian bahan bakar tidak sesuai dengan jenisnya, misal mesin berjenis bensin diisi dengan solar atau minyak tanah. jadi pengisian bahan bakar harus disesuaikan dengan tipe mesinnya agar mesin terjaga, awet, dan berjalan secara ideal.
sekaian komentar saya, apabila banyak salah kata bahkan gagasan mohon dimaafkan.
Ulfa Zuhrotunnisa
BalasHapus09410033
Berbicara tentang pendidikan dan kebudayaan pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan. Kebudayaan secara ringkas dan banyak diketahui khalayak umum merupakan hasil dari cipta, rasa , dan karsa manusia. Sedangkan berkaitan dengan pendidikan tidak dapat terlepas dari yuang namanya suatu interaksi, baik dalam hal pemikiran, budaya, maupun pranata sosial. Dalam pendidikan terjadi interaksi dua arah yang dapat menjadi suatu kebudayaan. Ternyata di Indonesia antara kebudayaan dan pendidikan tidak terpisahkan. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan local yang dijadikan sebagai suatu mata pelajaran di sekolah. Misal, Bahasa Jawa yang nerupakan kebudayaan Jawa dimasukkan ke dalam salah satu pelajaran muatan lokal di sekolah. Kebudayaan yang ada di setiap pulau di Indonesia dapat dijadikan sebagai kekuatan bangsa dalam memajukan negara tercinta ini..