Nama : KHUNAFAUNNISA
Nim : 06410102
IDENTITAS
BUKU
Judul : Paradigma Islam
Pengarang :
Kuntowijoyo
Penerbit :
MIZAN
Halaman :
672 Halaman
Cetakan Ke :
edisi baru cetakan 1, September 2008.
ISBN : 978-979-433-520-8
Kuntowijoyo
(alm) adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada. Dilahirkan di Yogyakarta 18
September 1943, ia meninggal dunia pada 22 Februari 2005.
Buku ini merekam hampir semua tema penting pemikiran
keislaman Kuntowijoyo, terutama mengenai realitas historis dan empiris Islam di
Indonesia. Dengan mengkaji sejarah sosial umat, secara brilian Kutowijoyo
melihat adanya koherensi historis Islam di Indonesia sebagai suatu fenomena
yang unik, dan oleh karena itu dia menyarankan perlunya
interpretasi-interpertasi tematik untuk memahaminya.
Analisisnya mengenai proses transformasi sosial umat Islam
dalam suatu kurun panjang sejarah sejak zaman Demak hingga Orde Baru merupakan
temuan yang paling penting dari kajian historisnya itu. Dari sinilah, Kunto
wijoyo tidak saja berhasil menawarkan semacam pendekatan baru dalam
kajian-kajian keislaman yang selama ini cenderung didominasi oleh pendekatan
normatif, tetapi juga memberikan kerangka paradigmatik untuk menafsirkan apa
yang sedang terjadi, dan ke mana gerakan transformasi tersebut sebaiknya
diarahkan.
Buku ini menggugah kesadaran tentang berbagai masalah Islam
dan bangsa, dan dipertanggungjawabkan Kuntowijoyo sebagai seorang sejarahwan
yang matang. Jadilah buku ini sebuah karya ilmiah yang senantiasa relevan dalam
memahami dinamika permasalahan umat dan bangsa.” (Prof. Dr. Taufik Abdullah.)
Pesan Kunto Wijoyo cukup jelas, Hanya dengan pemahaman yang
tepat atas konteks sosio-historisnya wahyu Islam bisa kita tangkap ruhnya.
Untuk penerapannya, dibutuhkan pemahaman yang tepat atas konteks sosio-historis
di mana ia hendak ditegakkan. Jika tidak, boleh jadi Islam yang kita maksud
hanya huruf-hurufnya, bukan maknanya; atau meminjam istilah Bung Karno hanya
abunya, bukan apinya.” (Masdar Farid Mas’udi.)
Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, Kunto Wijoyo tentu dia
tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu
dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti
mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan
oleh mufassir modern. Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks al-Qur’an
(mentransendensirkannya) pada tingkat tertentu, dan menegasikan seluruh tafsir
dan sosio-kultural yang melatarbelakanginya, untuk kemudian mengambil
konsep-konsep sosial pada teks, dan menjelaskannya dalam perspektif ilmu sosial
modern (Abdul Munir Mulkhan).
Kuntowijoyo menyebut caranya ini dengan pengilmuan Islam yang kemudian menjadi
semacam paradigma Islam.
Penting menurut Kuntowijoyo untuk memposisikan penjelasannya itu dalam
ranah ilmu, karenanya ia bersifat relatif, tidak anti kritik, dan bebas dari
sakralisasi teks. Ilmu memang harus berdialektika, jika tidak tahan uji, maka
digantikanlah ia dengan yang baru. Namun bukan berarti sama sekali tidak
bermanfaat, karena bagunan (struktur) suatu ilmu baru, tidak lepas dari unsur
ilmu-ilmu terdahulu yang menjadi fondasi bangunan keseluruhannya.
Paradigma Islam yang digagas oleh Kuntowijoyo merupakan jalan keluar
yang tepat untuk memahami kondisi sosial dan melakukan gerakan merubah sejarah.
Dengan tetap berpegang erat pada ikatan wahyu, Kuntowijoyo dapat membawa
metafisik yang ditolak oleh positivisme Barat menjadi semacam ilmu sosial.
Langkah ini tentunya sangat mudah untuk dipahami, Karena progresivitasnya
memberi jalan baru untuk diikuti. Integrasi ilmu dan wahyu yang kemudian
menjadi ilmu sosial profetik yang bersifat humanis (pemanusiaan), liberal
(pembebasan), dan transendental (ketuhanan) sungguh sangat bermanfaat. Di mana
cita-cita transformasi sosial adalah juga merupakan warisan dari misi kenabian.
Tidak dipungkiri, objektivikasi merupakan istilah yang sangat
moderat. Para cendekiawan muslim Indonesia juga sebenarnya memiliki istilah
yang serupa dengan objektivikasi ini, misal membumikan, menkontektualisasikan,
mengaktualisasikan, dll. Tetapi menurut penulis, istilah-istilah tersebut
sebenarnya sama dengan apa yang disebut Kuntowijoyo dengan eksternalisasi.
Objektivikasi lebih maju, akurat, dan sangat aktual. Aktual, dalam arti sesuai
dengan periodesasi yang ditekankan Kuntowijoyo dalam memetakan sejarah politik
umat Islam Indonesia. Di mana dalam periodesasi itu, Kuntowijoyo menyebutkan
adanya tahapan mitos, ideologi, dan ilmu. Sekarang ini adalah periode ilmu,
karena itu objektivikasi atau pengilmuan Islam dirasa sangat pas dan mengena.
Karena itu, dalam membangun paradigma Islam yang digagasnya,
Kuntowijoyo juga berpijak pada bangunan ilmu yang sudah ada. Dalam hal ini,
Kuntowijoyo meminjam teori strukturalisme, khususnya strukturalisme Jean Piaget
dan Claude Levi-Strauss. (Kuntowijoyo
Islam Sebagai Ilmu hal 29 dan 32) Dengan memasukkan ajaran dan
konsep-konsep Islam dalam bangun teori ini, Kuntowijoyo kemudian menyebut
metode ini dengan strukturalisme transendental, yaitu suatu teori sosial
keagamaan yang didasarkan atas kesadaran berketuhanan. Wahyu sebagai salah satu
manifestasi Tuhan diintegralisasikan dengan ilmu-ilmu yang digagas oleh
manusia. Pada gilirannya, hasil internalisasi dari sintesa wahyu dan ilmu
kemanusiaan itu kemudian diobjektivikasikan dalam suatu metode pengilmuan yang
diharapkan oleh Kuntowijoyo menjadi suatu rahmat bagi seluruh umat manusia.( (Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu hal49) Jelas,
tujuan paradigma Islam bagi Kuntowijoyo adalah untuk mengarahkan manusia pada
satu arah, yaitu Tuhan.
TERJADINYA PERPECAHAN YANG TERJADI DI KUBU UMAT ISLAM DI KARENAKAN PEMAHAMAN YANG BERBEDA, KEBANYAKAN MEREKA TIDAK MENGANGGAP BAHWA PERBEDAAN ITU ADALAH RAHMAT, TAPI MEREKA MENGANGGAP PERBEDAAN ADALAH PERMUSUHAN. UNTUK ITU MARI KITA BERFIKIR UNTUK KEMAJUAN DARI UMAT ISLAM SENDIRI-SENDIRI JANGAN EGOIS PADA PANDANGAN INDIVIDU YANG DIANGGAP PALING BENAR (SADAM FAJAR SHODIQ 09410239)
BalasHapussaya setuju dengan sikap yang dilakukan oleh Kunto Wijoyo yang latar belakangnya Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, Kunto Wijoyo tentu dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern"
BalasHapusdari hal itu terdapat kebijaksanaan yang terkadang banyak orang melupakannya. dari mereka tidak sedikit yang memberikan penafsiran tampa dibarengi dengan pengetahuan yang mendalam tentang Ilmu-ilmu yang mendukungnya,sehingga hasil penafsirannya pun terasa muskil dan mengambang. jargon PINTU IJTIHAD MASIH TERBUKA seolah kurang berarti kalau hasilnya serampangan. lebih baik serahkan kepada "sang ahli" daripada menciderarai sebuah Esensi!
islam tidak secara keseluruhan sebagai doktrin. islam adalah ilmu yang bisa dikaji secara ilmiah. ilmu akan sia-sia jika tidak digunakan sesuai dengan sosio kultural masyarakat, bahkan ilmu justru akan merusak jika salah pada penempataannya. begitu juga dengan Islam. Islam akan menjadi sebuah nama atau simbol belaka jika hanya diberlakukan sebagai doktrin tanpa ada dinamisasi pengajaran dan pemahaman secara komprehensif. ilmu bersifat dinamis begitu juga islam.
BalasHapusmanusia diberikan "kemerdekaan" oleh Allah dengan diciptakannya akal pikiran sebagai bekal untuk menjadi Kholifah di Bumi. persatuan antara akal dan qolbu disitulah Islam bisa hidup. hati tanpa akal ibarat menjalankan mobil yang tidak ada setirnya. begitu juga akal tanpa hati ibarat menyetir mobil tanpa mesin.
seperti yang dikerjakan nabi Ibrohim dengan "membaca" ayat-ayat Tuhan maka beliau dapat menemukan esensi keberadaan Tuhan. sedangkan kita umat Islam sudah diberikan Kitab pedoman sudah selayaknya untuk terus menerus mengkaji dan membaca makna yang ada di dalam kitab al-Qur'an tersebut.
paradigma islam oleh kuntowijoyo mencoba memberikan tawaran kepada umat islam supaya menjadikan Islam sebagai Ilmu yang berkembang dinamis yang mampu menjawab tantangan zaman.
Ahmad sadam husaein (09410260)