Rabu, 21 Maret 2012

Paradigma Islam

Nama  : KHUNAFAUNNISA
Nim     : 06410102

IDENTITAS BUKU
Judul               : Paradigma Islam
Pengarang       : Kuntowijoyo
Penerbit           : MIZAN
Halaman          : 672 Halaman
Cetakan Ke     : edisi baru cetakan 1, September 2008.
ISBN               : 978-979-433-520-8

            Kuntowijoyo (alm) adalah Guru Besar Universitas Gajah Mada. Dilahirkan di Yogyakarta 18 September 1943, ia meninggal dunia pada 22 Februari 2005.
Buku ini merekam hampir semua tema penting pemikiran keislaman Kuntowijoyo, terutama mengenai realitas historis dan empiris Islam di Indonesia. Dengan mengkaji sejarah sosial umat, secara brilian Kutowijoyo melihat adanya koherensi historis Islam di Indonesia sebagai suatu fenomena yang unik, dan oleh karena itu dia menyarankan perlunya interpretasi-interpertasi tematik untuk memahaminya.
Analisisnya mengenai proses transformasi sosial umat Islam dalam suatu kurun panjang sejarah sejak zaman Demak hingga Orde Baru merupakan temuan yang paling penting dari kajian historisnya itu. Dari sinilah, Kunto wijoyo tidak saja berhasil menawarkan semacam pendekatan baru dalam kajian-kajian keislaman yang selama ini cenderung didominasi oleh pendekatan normatif, tetapi juga memberikan kerangka paradigmatik untuk menafsirkan apa yang sedang terjadi, dan ke mana gerakan transformasi tersebut sebaiknya diarahkan.
Buku ini menggugah kesadaran tentang berbagai masalah Islam dan bangsa, dan dipertanggungjawabkan Kuntowijoyo sebagai seorang sejarahwan yang matang. Jadilah buku ini sebuah karya ilmiah yang senantiasa relevan dalam memahami dinamika permasalahan umat dan bangsa.” (Prof. Dr. Taufik Abdullah.)
Pesan Kunto Wijoyo cukup jelas, Hanya dengan pemahaman yang tepat atas konteks sosio-historisnya wahyu Islam bisa kita tangkap ruhnya. Untuk penerapannya, dibutuhkan pemahaman yang tepat atas konteks sosio-historis di mana ia hendak ditegakkan. Jika tidak, boleh jadi Islam yang kita maksud hanya huruf-hurufnya, bukan maknanya; atau meminjam istilah Bung Karno hanya abunya, bukan apinya.” (Masdar Farid Mas’udi.)
Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, Kunto Wijoyo tentu dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern. Tetapi Kuntowijoyo berupaya mengangkat teks al-Qur’an (mentransendensirkannya) pada tingkat tertentu, dan menegasikan seluruh tafsir dan sosio-kultural yang melatarbelakanginya, untuk kemudian mengambil konsep-konsep sosial pada teks, dan menjelaskannya dalam perspektif ilmu sosial modern (Abdul Munir Mulkhan). Kuntowijoyo menyebut caranya ini dengan pengilmuan Islam yang kemudian menjadi semacam paradigma Islam.
Penting menurut Kuntowijoyo untuk memposisikan penjelasannya itu dalam ranah ilmu, karenanya ia bersifat relatif, tidak anti kritik, dan bebas dari sakralisasi teks. Ilmu memang harus berdialektika, jika tidak tahan uji, maka digantikanlah ia dengan yang baru. Namun bukan berarti sama sekali tidak bermanfaat, karena bagunan (struktur) suatu ilmu baru, tidak lepas dari unsur ilmu-ilmu terdahulu yang menjadi fondasi bangunan keseluruhannya.
Paradigma Islam yang digagas oleh Kuntowijoyo merupakan jalan keluar yang tepat untuk memahami kondisi sosial dan melakukan gerakan merubah sejarah. Dengan tetap berpegang erat pada ikatan wahyu, Kuntowijoyo dapat membawa metafisik yang ditolak oleh positivisme Barat menjadi semacam ilmu sosial. Langkah ini tentunya sangat mudah untuk dipahami, Karena progresivitasnya memberi jalan baru untuk diikuti. Integrasi ilmu dan wahyu yang kemudian menjadi ilmu sosial profetik yang bersifat humanis (pemanusiaan), liberal (pembebasan), dan transendental (ketuhanan) sungguh sangat bermanfaat. Di mana cita-cita transformasi sosial adalah juga merupakan warisan dari misi kenabian.
Tidak dipungkiri, objektivikasi merupakan istilah yang sangat moderat. Para cendekiawan muslim Indonesia juga sebenarnya memiliki istilah yang serupa dengan objektivikasi ini, misal membumikan, menkontektualisasikan, mengaktualisasikan, dll. Tetapi menurut penulis, istilah-istilah tersebut sebenarnya sama dengan apa yang disebut Kuntowijoyo dengan eksternalisasi. Objektivikasi lebih maju, akurat, dan sangat aktual. Aktual, dalam arti sesuai dengan periodesasi yang ditekankan Kuntowijoyo dalam memetakan sejarah politik umat Islam Indonesia. Di mana dalam periodesasi itu, Kuntowijoyo menyebutkan adanya tahapan mitos, ideologi, dan ilmu. Sekarang ini adalah periode ilmu, karena itu objektivikasi atau pengilmuan Islam dirasa sangat pas dan mengena.
Karena itu, dalam membangun paradigma Islam yang digagasnya, Kuntowijoyo juga berpijak pada bangunan ilmu yang sudah ada. Dalam hal ini, Kuntowijoyo meminjam teori strukturalisme, khususnya strukturalisme Jean Piaget dan Claude Levi-Strauss. (Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu hal 29 dan 32) Dengan memasukkan ajaran dan konsep-konsep Islam dalam bangun teori ini, Kuntowijoyo kemudian menyebut metode ini dengan strukturalisme transendental, yaitu suatu teori sosial keagamaan yang didasarkan atas kesadaran berketuhanan. Wahyu sebagai salah satu manifestasi Tuhan diintegralisasikan dengan ilmu-ilmu yang digagas oleh manusia. Pada gilirannya, hasil internalisasi dari sintesa wahyu dan ilmu kemanusiaan itu kemudian diobjektivikasikan dalam suatu metode pengilmuan yang diharapkan oleh Kuntowijoyo menjadi suatu rahmat bagi seluruh umat manusia.( (Kuntowijoyo Islam Sebagai Ilmu hal49) Jelas, tujuan paradigma Islam bagi Kuntowijoyo adalah untuk mengarahkan manusia pada satu arah, yaitu Tuhan.

3 komentar:

  1. TERJADINYA PERPECAHAN YANG TERJADI DI KUBU UMAT ISLAM DI KARENAKAN PEMAHAMAN YANG BERBEDA, KEBANYAKAN MEREKA TIDAK MENGANGGAP BAHWA PERBEDAAN ITU ADALAH RAHMAT, TAPI MEREKA MENGANGGAP PERBEDAAN ADALAH PERMUSUHAN. UNTUK ITU MARI KITA BERFIKIR UNTUK KEMAJUAN DARI UMAT ISLAM SENDIRI-SENDIRI JANGAN EGOIS PADA PANDANGAN INDIVIDU YANG DIANGGAP PALING BENAR (SADAM FAJAR SHODIQ 09410239)

    BalasHapus
  2. saya setuju dengan sikap yang dilakukan oleh Kunto Wijoyo yang latar belakangnya Sebagai seorang ahli sejarah dan budayawan, Kunto Wijoyo tentu dia tidak ingin bermain-main dengan ilmu tafsir yang tidak dikuasainya. Karena itu dia mengambil jalan tengah, bukan untuk menafsirkan ayat al-Qur’an seperti mufassir tradisional, atau juga mengkontekstualisasikannya sebagaimana yang dilakukan oleh mufassir modern"
    dari hal itu terdapat kebijaksanaan yang terkadang banyak orang melupakannya. dari mereka tidak sedikit yang memberikan penafsiran tampa dibarengi dengan pengetahuan yang mendalam tentang Ilmu-ilmu yang mendukungnya,sehingga hasil penafsirannya pun terasa muskil dan mengambang. jargon PINTU IJTIHAD MASIH TERBUKA seolah kurang berarti kalau hasilnya serampangan. lebih baik serahkan kepada "sang ahli" daripada menciderarai sebuah Esensi!

    BalasHapus
  3. islam tidak secara keseluruhan sebagai doktrin. islam adalah ilmu yang bisa dikaji secara ilmiah. ilmu akan sia-sia jika tidak digunakan sesuai dengan sosio kultural masyarakat, bahkan ilmu justru akan merusak jika salah pada penempataannya. begitu juga dengan Islam. Islam akan menjadi sebuah nama atau simbol belaka jika hanya diberlakukan sebagai doktrin tanpa ada dinamisasi pengajaran dan pemahaman secara komprehensif. ilmu bersifat dinamis begitu juga islam.
    manusia diberikan "kemerdekaan" oleh Allah dengan diciptakannya akal pikiran sebagai bekal untuk menjadi Kholifah di Bumi. persatuan antara akal dan qolbu disitulah Islam bisa hidup. hati tanpa akal ibarat menjalankan mobil yang tidak ada setirnya. begitu juga akal tanpa hati ibarat menyetir mobil tanpa mesin.
    seperti yang dikerjakan nabi Ibrohim dengan "membaca" ayat-ayat Tuhan maka beliau dapat menemukan esensi keberadaan Tuhan. sedangkan kita umat Islam sudah diberikan Kitab pedoman sudah selayaknya untuk terus menerus mengkaji dan membaca makna yang ada di dalam kitab al-Qur'an tersebut.

    paradigma islam oleh kuntowijoyo mencoba memberikan tawaran kepada umat islam supaya menjadikan Islam sebagai Ilmu yang berkembang dinamis yang mampu menjawab tantangan zaman.

    Ahmad sadam husaein (09410260)

    BalasHapus