Judul Buku : LESBUMI: Strategi Kebudayaan Politik
Penulis
: Choirotun Chisaan
Penerbit
: LKIS, Yogyakarta
Cetakan
: I, Maret 2008
Oleh : Ahmad Sholihul Anam (09410256)*
Pada waktu itu lembaga kebudayaan banyak muncul dan
berafiliasi dengan partai politik tertentu, di antaranya: Lembaga Kebudayaan
Rakyat (Lekra/ PKI), Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN/ PNI), Lembaga Seniman
Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi/ NU), Himpunan Seni Budaya Islam
(HSBI/Masyumi), Lembaga Kebudayaan Indonesia Katolik (LKIK/Partai Katolik),
Lembaga Seni Budaya Indonesia (Lesbi/ Partindo), Lembaga Kebudayaan dan Seni
Muslim Indonesia (Laksmi/ PSII), Lembaga Kebudayaan dan Seni Islam (Leksi/
Perti), dan lain sebagainya.
Keberadaan
lembaga-lembaga kebudayaan tersebut menandakan bahwa relasi antara kebudayaan
dengan politik cukup erat dan saling memengaruhi. Bahkan pada fase tertentu,
seni budaya
dapat dipandang sebagai produk dari sebuah proses politik. Dengan kata lain,
pada masa itu, seni budaya dijadikan alat tindak politik (politic act).
Fenomena ini dapat ditilik dalam lembar sejarah Bangsa Indonesia rentang tahun
1950-1960-an, khususnya pada masa Demokrasi Terpimpin.
Lesbumi,
sebagai salah satu lembaga kebudayaan yang lahir pada masa itu, bermain peran
yang tak jauh beda dengan lembaga-lembaga kebudayaan lainnya. Sebagai lembaga
otonom Nahdhatul Ulama (NU) yang bergerak di bidang seni dan budaya, Lesbumi
memiliki peran sentral dalam strategi politik kebudayan NU setelah organisasi
ini secara resmi menyatakan diri keluar dari partai Masyumi pada tahun 1952 dan
membentuk parpol sendiri.
Ada
tiga momentum penting, menurut Choirotun Chisaan, yang patut mendapat perhatian
bersamaan dengan kelahiran Lesbumi. Pertama, dikeluarkannya manifesto
politik pada tahun 1959 oleh Presiden Soekarno. Kedua, pengarusutamaan
Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunis) dalam tata kehidupan sosio-budaya
dan politik Indonesia pada awal tahun 1960. Serta, ketiga,
perkembangan Lekra, organisasi yang sejak lahir tahun 1950-an dan seterusnya
makin menampakkan kedekatannya dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun
ideologi.
Di samping ketiga faktor ekstern tersebut, ada faktor
internal yang juga turut memprakarsai kelahiran Lesbumi yakni kebutuhan akan
pendampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdliyyin
dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya.
Memang,
tidak bisa dibantah, bahwa, secara historis, keberadaan Lekra yang semakin
harmonis dengan PKI-lah faktor yang paling mencolok melatarbelakangi kelahiran
Lesbumi. Sebab Lekra tidak hanya dilihat sebagai organisasi kebudayaan per
se, tetapi juga dilihat sebagai organisasi kebudayaan yang memiliki
kedekatan ideologi dengan PKI yang makin mengembangkan sayap kekuasaannya.
(hlm.121-123)
Akan
tetapi, patut dicatat, kelahiran Lesbumi tidak semata counter-responses
terhadap kedekatan Lekra dengan PKI, seperti jamak anggapan selama ini. Tetapi,
menurut Chorotun Chisaan, latar belakang kelahiran Lesbumi tidak bisa
dilepaskan dari momen politik dan momen budaya. Dari dua konteks momen inilah
'Trio Macan' Lesbumi: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani,
menyuarakan perlunya pendefinisian kembali agama dalam konteks Indonesia yang
sedang dalam proses nation-building, khususnya dalam bidang kebudayaan.
Dengan kata lain, pengarusutamaan Nasakom di bidang
kebudayaanlah yang menjadi penyebab langsung kelahiran Lesbumi. Hal
ini sejalan dengan pelaksanaan garis-garis manipol-USDEK yang dicetuskan oleh
Bung Karno pada masa Demokrasi Terpimpin
(hlm.133-135).
Namun,
seiring dengan makin memanasnya suhu politik hingga terjadi tragedi kemanusiaan
'65, Lesbumi lenyap bersama sunyi jerit pembantaian. Peristiwa ini menjadi
titik ujung matinya dinamika seni budaya Indonesia yang berimbas pada
eksistensi Lesbumi yang baru 'seumur jagung' dan sedang mencari formula baru
tentang format seni budaya.
Di
hadapan sidang pembaca, buku ini bermaksud menganalisis tiga persoalan pokok. Pertama,
historisitas Lesbumi, yaitu kelahiran dan perkembangan, pendiri-pendiri dan
tujuan-tujuannya, serta landasan ideologis dan warna seni budaya Lesbumi. Dari
persoalan ini menggiring pada pertanyaan kedua, bagaimana posisi Lesbumi di
tengah perdebatan politik-aliran seni budaya di Indonesia kurun waktu 1960-an?
Persoalan
terakhir yang ingin dijawab adalah, bagaimana dinamika internal yang terjadi di
dalam tubuh partai NU dengan lahirnya Lesbumi? Persoalan ini ingin diarahkan
pada pertanyaan; bagaimana respons ulama terhadap kelahiran Lesbumi?
Buku
yang diangkat dari tesis S2 penulisnya ini tidak serta-merta memaparkan profil
Lesbumi semata. Namun turut memberikan perespektif yang berbeda sekaligus baru
tentang cara pandang NU terhadap relasi antara agama dan politik dalam
perspektif kebudayaan.
Tak
pelak jika kehadiran buku ini cukup penting, selain sumbangsih wacana, guna
menambah wawasan dan referensi baru bagi para peminat kajian sejarah
perpolitikan di Indonesia. Semoga kelahiran buku ini dapat mengantarkan Lesbumi
yang dibangunkan dari tidur panjangnya pada Muktamar NU ke-30 dan Muktamar NU
ke-31.
*Mahasiswa PAI kelas D, Fak. Tarbiyah & Keguruan - UIN Suka '09
Dari resensi diatas menurut saya cukup menarik, karena adanya strategi kebudayaan politik yang berhubungan dengan kesenaian sangat berkaitan erat dan saling mempengaruhi antara keduanya.Di sini juga dikatakan persolan-persoalan antara lembaga-lembaga yang ada di Indonesia.Tetapi saya belum melihat solusi dari persolan yang ada, sehingga pembaca kurang memahami isi dari buku ini.
BalasHapusTrimakasih...
Salistia Muniroh (09410185)
luar biasa sekali, tapi jujur dari resensi di atas, saya belum mampu menangkap pesan yang di sampaikan oleh buku tersebut. porsi pembahasan resensi di atas masih banyak membahas mengenai politik secara khusus, di bandingkan dengan pembahasan mengenai hubungan politik itu sendiri dengan kesenian. sehingga muncul pertanyaan, bagaimana politik dan kesenian saling berhubungan dan saling mempengaruhi?
BalasHapustrimakasih..
mulatsih (o9410169)