Selasa, 03 April 2012

Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis Dan Refleksi Historis


Nama               : Novita Rahmawati
NIM                : 09410183
Identitas Buku
Judul Buku                  : Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis Dan Refleksi Historis
Nama Pengarang         : Dr. Faisal Ismail, MA
Nama Penerbit             : Titian Ilahi Press
Kota Terbit                  : Yogyakarta
Tahun Terbit                : 1996
Jumlah Halaman          :  298 halaman
Isi buku
Buku yang berjudul Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan Refleksi Historis ini dibagi menjadi empat bagian.
1. Pada bagian Pertama, “Islam dan Kebudayaan di Indonesia”, Faisal Ismail mencoba menyoroti secara umum situasi dan kondisi pendidikan dan kebudayaan Islam di Indonesia. Bagian ini, pengarang menganalisis masalah yang dihadapi umat Islam di bidang pendidikan dan kebudayaan. Penyair dan dramawan WS Rendra mengemukakan suatu tesis bahwa salah satu krisis yang cukup memprihatinkan yang terjadi di kalangan umat Islam Indonesia adalah bahwa “mereka kurang bersahabat” dengan ilmu pengetahuan. Akibat logis dari keadaan semacam ini tak pelak lagi akan bermuara pada kenyataan bahwa prosentase intelektual Muslim di Indonesia tak sebanding dengan jumlah umat Islam. Selanjutnya, mengenai poltik devide at impera rejim/penjajah beserta warisan buruk dari pertikaian yang terjadi antar mazhab, menjadikan umat Islam lemah, sehingga tidak mampu mengembangkan potensi dirinya dalam  membangun kebudayaannya, apalagi menjawab kebutuhan-kebutuhan umat dan zamannya. Karya-karya budaya yang kongkret belum banyak lahir dari tangan orang Islam, karena pemikiran dan energi mereka hampir habis dan nyaris kering terhisap oleh pertikaian dan pertentangan masalah-masalah kecil yang tidak prinsip.
Kendatipun benturan pertikaian-pertikaian mazhab pada beberapa kurun waktu terakhir ini tidak lagi meruncing, namun keadaan umat Islam dalam aspek kebudayaannya nampaknya tidak terlalu menggembirakan. Barangkali yang menjadi penyebab pokok adalah umat Islam kurang menaruh respek terhadap masalah-masalah kebudayaan pada umumnya. Antusiasme umat Islam terhadap persoalan-persoalan kultural hampir dikatakan “Nol Besar”. Mereka seakan-akan tidak tahu menahu, acuh tak acuh, apatis, dan masa bodoh dengan situasi jamannya. Sementara gelombang kultur Barat dalam berbagai bentuknya yang merangsang semakin menyusup dan melanda kota-kota dan daerah-daerah yang mayoritas berpenduduk Islam.
Aspek lain yang menjadi penyebab krisis kebudayaan Islam di Indonesia adalah adanya anggapan yang keliru di sementara kalangan umat Islam yang mengasosiasikan Islam hanya sebagai “ibadat” saja dalam pengertiannya yang sempit dan dangkal. Pandangan semacam ini tentu saja tidak benar. Bahwa pada hakikatnya, bidang garapan Islam tidak saja masalah peribadatan dalam arti sempit dan formal seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Akan tetapi, bidang garapan Islam juga mengenai masalah-masalah keduniaan (kebudayaan). Jadi, bidang garapan Islam adalah meliputi seluruh segi kehidupan baik kehidupan keduniaan dan kehidupan akhirat, yang keduanya tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam. Islam menghendaki kehidupan yang seimbang antara dunia dan akhirat. Karena selama ini imajinasi dan wawasan tentang Islam hanya diasosiasikan secara sempit (ibadah saja) oleh umat Islam sendiri, maka aktivitas kebudayaan kurang mendapat perhatian secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, yang pertama dan utama adalah menghilangkan salah tafsir ini. Penting sekali untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap intensitas pengamalan ibadat dan sikap apresiatif terhadap penggalakan kehidupan kebudayaan.
Situasi yang demikian ini memerlukan pemecahan. Cara yang penting dilakukan adalah: melakukan kajian ulang terhadap strategi kebudayaan; mengkaji ulang sistem pendidikan (tatanan dan proses belajar mengajar) secara menyeluruh dan komprehensif-sejak dari pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Strategi kebudayaan dalam suatu segi harus bermakna dan berintikan pembaharuan pendidikan Islam, karena pendidikan merupakan sub-sistem dalam keseluruhan satuan budaya. Pendidikan dan kebudayaan dapat dipandang sebagai refleksi kehidupan intelektual dan kultural umat dalam perjalanan misi sejarah yang disandangnya. Dari corak dan mutu pendidikanlah dapat diamati kualitas intelektual dan kultural umat Islam di masa depan. Bertolak dari pemikiran strategi semacam ini, maka pembaharuan pendidikan Islam merupakan suatu keharusan, guna membentuk pilar-pilar kebudayaan masa depan yang kukuh-kuat menopang bangunan Islam dan umatnya.
2. Bagian Kedua, “Keberimanan dan Kebersenimanan”, membahas perihal subordinasi agama terhadap kesenian atau sebaliknya. Subordinasi kesenian kepada agama menimbulkan akibat-akibat yang menyangkut kedua simbol itu. Terhadap kesenian, akibat negatifnya adalah:
a. Terikatnya bentuk dan isi kesenian kepada agama yang berpretensi abadi
b. Timbul ketegangan antara nilai-nilai agama termasuk hukum-hukumnya yang keras dengan nilai-nilai kesenian yang longgar
c. Penggunaan kesenian untuk tujuan praktek agama akan membatasi ruang gerak kesenian
d. Kebebasan mencipta terganggu oleh ingatan tentang norma-norma.
Adapun segi positifnya adalah adanya dasar yang kuat (norma agama) untuk memperkembangkan kesenian karena betapa pun kesenian harus selalu mengandung nilai-nilai.
Terhadap agama, kesenian mempunyai pengaruh yang negative pula, diantaranya adalah:
a.       Pernyataan-pernyataan dalam kesenian sering mengacaukan ajaran-ajaran agama, misalnya kekacauan semantik
b.      Hasil kesenian kadang-kadang disucikan sebagai bentuk ibadah
c.       Akidah-akidah agama sering ditaklukan oleh perkembangan kesenian.
Sedangkan segi positifnya adalah nampaknya sosok kebesaran agama yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia.
Kesenian islam akan macet itu disebabkan karena umat islam kurang menaruh apresiasi terhadap masalah-masalah kesenian sebagai akibat dari produk pandangan sebagian ulama di masa penjajahan yang mengintroduksi suatu fatwa bahwa meniru-niru segala yang berbau adat istiadat kaum penjajah adalah haram. Menyadari betapa besarnya “ancaman” ini, maka satu-satunya alternatif untuk menjawab dan melawannya adalah: umat Islam harus mampu “mengkreatifkan” ajaran-ajaran agamanya secara maksimal dalam seluruh gerak kesenian dan kebudayaan Islam modern yang dapat memenuhi standar kualitas objektif, dan tetap berjiwa Islam. Pekerjaan ini membutuhkan sikap dan kesadaran kultural kolektif, kreativitas dan suprastruktur.
3. Bagian Ketiga, “Islam, Moralitas, dan Modernitas”, mendiskusikan tentang Islam dalam kaitannya dengan moralitas dan modernitas. Bagaimana posisi Islam berhadapan dengan pergeseran nilai-nilai moral yang terjadi di dunia Barat, yang memang pengaruhnya dapat dirasakan disekitar kita. Dunia mode adalah dunia yang penuh pesona. Dunia mode adalah dunia yang gemerlap. Apabila kita amati secara seksama mengikuti perkembangan dunua mode, maka sesuatu yang tampak jelas adalah mode itu tidak statis, tetapi terus menerus mengalami perubahan. Dalam menghadapi masalah-masalah yang berdimensi duniawi dan masalah-masalah kebudayaan, termasuk masalah cipta-mencipta mode pakaian, Islam tidak bersifat kaku, tetapi fleksibel. Islam memberi kelonggaran bahkan kebebasan dalam hal cipta-mencipta mode, dan dalam hal ini diserahkan kepada selera kreativitas masyarakat penganutnya di mana mereka berada. Jadi, mode pakaian itu dapat dicipta sesuai dengan keperluan, kebutuhan, kondisi, dan situasi, namun harus dalam batas-batas moral Islam.
Topik lain yang dikaji dalam pembahasan bagian ini adalah bagaimana pendirian kaum Muslimin dan wawasan Islam berhadapan dengan isu-isu sentral yang bertalian dengan modernisasi.
4. Bagian Keempat, “Islam dan Kebudayaan Global”. Bagian ini diawali dengan sketsa sejarah kebangkitan kebudayaan Islam (abad 8 hingga 13 M). Setelah menikmati masa-masa keemasan dan kejayaan selama kurang lebih lima abad, umat Islam-Arab dan kebudayaan runtuh, sehingga estafet kepeloporan di bidang keilmuan dan kebudayaan beralih ke tangan Barat.  Situasi yang melatarbelakangi dunia dewasa ini memang memungkinkan Islam untuk hadir dan tampil kembali. Barat dengan kebudayaannya sudah diramalkan akan tamat, sementara itu akan muncul peradaban baru yang bercorak keagamaan ideal. Dalam kurun semacam itu, yang dilatarbelakangi dengan semakin merosotnya dominasi Barat, suatu harapan terbentang di hadapan Islam untuk mewarnainya, membangun tatanan budaya dan kejayaan yang baru.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. permana (09410076)
    mengapa nilai seni begitu longgar? sedangkan agama kerap terbentur akan hukum-hukum yang super ketat? yang perlu kita lakukan adalah tetap kita tetap melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita. teorinya kita dapat mengejawantahkannya sendiri

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus