Nama :
Novita Rahmawati
NIM :
09410183
Identitas Buku
Judul Buku :
Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis Dan Refleksi Historis
Nama Pengarang :
Dr. Faisal Ismail, MA
Nama Penerbit :
Titian Ilahi Press
Kota Terbit :
Yogyakarta
Tahun Terbit :
1996
Jumlah Halaman :
298 halaman
Isi buku
Buku yang berjudul Paradigma Kebudayaan Islam: Studi Kritis dan
Refleksi Historis ini dibagi menjadi empat bagian.
1. Pada bagian Pertama, “Islam dan Kebudayaan di Indonesia”, Faisal
Ismail mencoba menyoroti secara umum situasi dan kondisi pendidikan dan kebudayaan
Islam di Indonesia. Bagian ini, pengarang menganalisis masalah yang dihadapi
umat Islam di bidang pendidikan dan kebudayaan. Penyair dan dramawan WS Rendra
mengemukakan suatu tesis bahwa salah satu krisis yang cukup memprihatinkan yang
terjadi di kalangan umat Islam Indonesia adalah bahwa “mereka kurang
bersahabat” dengan ilmu pengetahuan. Akibat logis dari keadaan semacam ini tak
pelak lagi akan bermuara pada kenyataan bahwa prosentase intelektual Muslim di
Indonesia tak sebanding dengan jumlah umat Islam. Selanjutnya, mengenai poltik devide
at impera rejim/penjajah beserta warisan buruk dari pertikaian yang terjadi
antar mazhab, menjadikan umat Islam lemah, sehingga tidak mampu mengembangkan
potensi dirinya dalam membangun
kebudayaannya, apalagi menjawab kebutuhan-kebutuhan umat dan zamannya. Karya-karya
budaya yang kongkret belum banyak lahir dari tangan orang Islam, karena
pemikiran dan energi mereka hampir habis dan nyaris kering terhisap oleh
pertikaian dan pertentangan masalah-masalah kecil yang tidak prinsip.
Kendatipun benturan pertikaian-pertikaian mazhab pada beberapa
kurun waktu terakhir ini tidak lagi meruncing, namun keadaan umat Islam dalam
aspek kebudayaannya nampaknya tidak terlalu menggembirakan. Barangkali yang
menjadi penyebab pokok adalah umat Islam kurang menaruh respek terhadap
masalah-masalah kebudayaan pada umumnya. Antusiasme umat Islam terhadap
persoalan-persoalan kultural hampir dikatakan “Nol Besar”. Mereka seakan-akan
tidak tahu menahu, acuh tak acuh, apatis, dan masa bodoh dengan situasi jamannya.
Sementara gelombang kultur Barat dalam berbagai bentuknya yang merangsang
semakin menyusup dan melanda kota-kota dan daerah-daerah yang mayoritas
berpenduduk Islam.
Aspek lain yang menjadi penyebab krisis kebudayaan Islam di
Indonesia adalah adanya anggapan yang keliru di sementara kalangan umat Islam
yang mengasosiasikan Islam hanya sebagai “ibadat” saja dalam pengertiannya yang
sempit dan dangkal. Pandangan semacam ini tentu saja tidak benar. Bahwa pada
hakikatnya, bidang garapan Islam tidak saja masalah peribadatan dalam arti
sempit dan formal seperti sholat, puasa, zakat, dan haji. Akan tetapi, bidang
garapan Islam juga mengenai masalah-masalah keduniaan (kebudayaan). Jadi,
bidang garapan Islam adalah meliputi seluruh segi kehidupan baik kehidupan
keduniaan dan kehidupan akhirat, yang keduanya tidak bisa dilepaskan dari
ajaran Islam. Islam menghendaki kehidupan yang seimbang antara dunia dan
akhirat. Karena selama ini imajinasi dan wawasan tentang Islam hanya
diasosiasikan secara sempit (ibadah saja) oleh umat Islam sendiri, maka
aktivitas kebudayaan kurang mendapat perhatian secara sungguh-sungguh. Oleh
karena itu, yang pertama dan utama adalah menghilangkan salah tafsir ini.
Penting sekali untuk menumbuhkan sikap apresiatif terhadap intensitas pengamalan
ibadat dan sikap apresiatif terhadap penggalakan kehidupan kebudayaan.
Situasi yang demikian ini memerlukan pemecahan. Cara yang penting
dilakukan adalah: melakukan kajian ulang terhadap strategi kebudayaan; mengkaji
ulang sistem pendidikan (tatanan dan proses belajar mengajar) secara menyeluruh
dan komprehensif-sejak dari pendidikan dasar sampai tingkat perguruan tinggi.
Strategi kebudayaan dalam suatu segi harus bermakna dan berintikan pembaharuan
pendidikan Islam, karena pendidikan merupakan sub-sistem dalam keseluruhan
satuan budaya. Pendidikan dan kebudayaan dapat dipandang sebagai refleksi
kehidupan intelektual dan kultural umat dalam perjalanan misi sejarah yang
disandangnya. Dari corak dan mutu pendidikanlah dapat diamati kualitas intelektual
dan kultural umat Islam di masa depan. Bertolak dari pemikiran strategi semacam
ini, maka pembaharuan pendidikan Islam merupakan suatu keharusan, guna
membentuk pilar-pilar kebudayaan masa depan yang kukuh-kuat menopang bangunan
Islam dan umatnya.
2. Bagian Kedua, “Keberimanan dan Kebersenimanan”, membahas perihal
subordinasi agama terhadap kesenian atau sebaliknya. Subordinasi kesenian
kepada agama menimbulkan akibat-akibat yang menyangkut kedua simbol itu.
Terhadap kesenian, akibat negatifnya adalah:
a. Terikatnya bentuk dan isi
kesenian kepada agama yang berpretensi abadi
b. Timbul
ketegangan antara nilai-nilai agama termasuk hukum-hukumnya yang keras dengan
nilai-nilai kesenian yang longgar
c. Penggunaan
kesenian untuk tujuan praktek agama akan membatasi ruang gerak kesenian
d. Kebebasan mencipta terganggu oleh
ingatan tentang norma-norma.
Adapun segi
positifnya adalah adanya dasar yang kuat (norma agama) untuk memperkembangkan
kesenian karena betapa pun kesenian harus selalu mengandung nilai-nilai.
Terhadap
agama, kesenian mempunyai pengaruh yang negative pula, diantaranya adalah:
a. Pernyataan-pernyataan
dalam kesenian sering mengacaukan ajaran-ajaran agama, misalnya kekacauan
semantik
b. Hasil
kesenian kadang-kadang disucikan sebagai bentuk ibadah
c. Akidah-akidah
agama sering ditaklukan oleh perkembangan kesenian.
Sedangkan
segi positifnya adalah nampaknya sosok kebesaran agama yang dapat mempengaruhi
kehidupan manusia.
Kesenian
islam akan macet itu disebabkan karena umat islam kurang menaruh apresiasi
terhadap masalah-masalah kesenian sebagai akibat dari produk pandangan sebagian
ulama di masa penjajahan yang mengintroduksi suatu fatwa bahwa meniru-niru
segala yang berbau adat istiadat kaum penjajah adalah haram. Menyadari betapa
besarnya “ancaman” ini, maka satu-satunya alternatif untuk menjawab dan
melawannya adalah: umat Islam harus mampu “mengkreatifkan” ajaran-ajaran
agamanya secara maksimal dalam seluruh gerak kesenian dan kebudayaan Islam
modern yang dapat memenuhi standar kualitas objektif, dan tetap berjiwa Islam.
Pekerjaan ini membutuhkan sikap dan kesadaran kultural kolektif, kreativitas
dan suprastruktur.
3. Bagian
Ketiga, “Islam, Moralitas, dan Modernitas”, mendiskusikan tentang Islam dalam
kaitannya dengan moralitas dan modernitas. Bagaimana posisi Islam berhadapan
dengan pergeseran nilai-nilai moral yang terjadi di dunia Barat, yang memang
pengaruhnya dapat dirasakan disekitar kita. Dunia mode adalah dunia yang penuh
pesona. Dunia mode adalah dunia yang gemerlap. Apabila kita amati secara
seksama mengikuti perkembangan dunua mode, maka sesuatu yang tampak jelas
adalah mode itu tidak statis, tetapi terus menerus mengalami perubahan. Dalam
menghadapi masalah-masalah yang berdimensi duniawi dan masalah-masalah
kebudayaan, termasuk masalah cipta-mencipta mode pakaian, Islam tidak bersifat
kaku, tetapi fleksibel. Islam memberi kelonggaran bahkan kebebasan dalam hal
cipta-mencipta mode, dan dalam hal ini diserahkan kepada selera kreativitas
masyarakat penganutnya di mana mereka berada. Jadi, mode pakaian itu dapat
dicipta sesuai dengan keperluan, kebutuhan, kondisi, dan situasi, namun harus
dalam batas-batas moral Islam.
Topik lain
yang dikaji dalam pembahasan bagian ini adalah bagaimana pendirian kaum
Muslimin dan wawasan Islam berhadapan dengan isu-isu sentral yang bertalian
dengan modernisasi.
4. Bagian Keempat,
“Islam dan Kebudayaan Global”. Bagian ini diawali dengan sketsa sejarah
kebangkitan kebudayaan Islam (abad 8 hingga 13 M). Setelah menikmati masa-masa
keemasan dan kejayaan selama kurang lebih lima abad, umat Islam-Arab dan kebudayaan
runtuh, sehingga estafet kepeloporan di bidang keilmuan dan kebudayaan beralih
ke tangan Barat. Situasi yang melatarbelakangi dunia dewasa ini memang
memungkinkan Islam untuk hadir dan tampil kembali. Barat dengan kebudayaannya
sudah diramalkan akan tamat, sementara itu akan muncul peradaban baru yang
bercorak keagamaan ideal. Dalam kurun semacam itu, yang dilatarbelakangi dengan
semakin merosotnya dominasi Barat, suatu harapan terbentang di hadapan Islam
untuk mewarnainya, membangun tatanan budaya dan kejayaan yang baru.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapuspermana (09410076)
BalasHapusmengapa nilai seni begitu longgar? sedangkan agama kerap terbentur akan hukum-hukum yang super ketat? yang perlu kita lakukan adalah tetap kita tetap melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita. teorinya kita dapat mengejawantahkannya sendiri
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus